Dalam Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 7 disebutkan bahwa:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
- Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
- Hilangnya akta nikah;
- Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
- Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
- Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurutUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Penjelasan Pasal 7 KHI berbunyi: “Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama”.
Dari bunyi pasal tersebut, Pasal 7 ayat (3) huruf e adalah dasar bagi pasangan yang telah melakukan nikah siri untuk mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama setempat.
Menikah siri apabila dilakukan dengan telah memenuhi syarat dan rukun nikah serta tidak ada larangan kawin atas pasangan tersebut maka, pernikahan tersebut adalah sah, sebagaimana dilindungi dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” jo. Pasal 39 - Pasal 44 (larangan kawin).
Sehubungan dengan itu bertempat di KUA Kec. Gantarangkeke pada Senin, 12 November 2018), Pengadilan Agama Bantaeng menyelenggarakan sidang isbat Nikah terhadap 4 pasangan suami istri dan 1 pasang gugat cerai.
Sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Pengadilan Agama Bantaeng bapak H. Ruslan Saleh, SH, MH sebagai Hakim Ketua dan bapak H. Baedawi, SH sebagai Hakim anggota dan bapak Zulkifli sebagai panitra. (mhd)