Bertindak selaku pembina apel pagi kali ini, Penyelenggara Syariah Kantor Kementerian Agama Kab. Bantaeng Bapak Abd Halim Yakub. S.Ag.
Dalam amanatnya, Abd. Halim Yakub menyampaikan beberapa hal terkait tupoksi pada Penyelenggara Syariah Kantor Kementerian Agama Kab Bantaeng yang selama kurang lebih setahun ini dipimpinnya.
Menurutnya, kegiatan pada Penyelenggara Syariah tidak banyak, tapi beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan bersentuhan langsung dengan pelaksanaan ibadah dan sangat menentukan sah tidaknya suatu ibadah. Seperti misalnya kegiatan Pengukuran Arah Kiblat pada sejumlah masjid/mushallah di Kab. Bantaeng.
Dari hasil kegiatan yang telah dilaksanakan tahun lalu (2017), menurut Abd. Halim, pihaknya telah menemukan fakta di lapangan bahwa dari 118 Masjid/ Mushallah yang telah diukur arah kiblatnya, hanya sekitar 22% atau sebanyak 26 buah masjid yang memenuhi arah kiblat yang benar, selebihnya atau sebanyak 92 buah masjid lainnya, arah kiblatnya melenceng.
"Dari hasil kegiatan yang telah kami laksanakan tahun lalu tersebut, hasilnya telah kami laporkan kepada bapak Kepala Kantor dan beliau melarang kami untuk mengeksekusi, dengan berbagai pertimbangan termasuk bahwa hal itu adalah ranahnya Majelis Ulama setempat". Ungkapnya.
"Untuk itu disini dibutuhkan partisipasi Majelis Ulama dalam hal ini MUI Kab. Bantaeng beserta jajarannya untuk memberikan pemahaman kepada segenap pengurus masjid beserta segenap jemaah yang setelah dilakukan pengukuran ternyata mengalami penyimpangan arah kiblat agar dapat mengikuti atau memperbaharui arah kiblatnya demi kesempurnaan dan sahnya shalat". Harapnya.
Sebagaimana pernah diberitakan bahwa pada tanggal 16 Juli 2010 lalu, MUI mengeluarkan fatwa baru tentang arah kiblat yang seharusnya menghadap ke barat laut. Fatwa ini meralat fatwa yang dikeluarkan sebelumnya pada tanggal 22 Maret 2010 lalu yang menyebutkan pada salah satu poinnya bahwa kiblat kita menghadap ke barat. Saat itu pula muncul pertanyaan masyarakat yang kebanyakan salah tangkap bahwa kiblat kita berubah.
Sebenarnya kiblat kita tidak pernah berubah, yaitu tetap Ka’bah yang terletak di Masjidil Haram, Makkah. Kalaupun berubah, maka perubahan itu bisa diakibatkan oleh pergeseran lempeng benua (continental drift) yang paling-paling hanya beberapa cm saja setiap tahunnya sehingga tidak memiliki pengaruh secara signifikan.
Kesalahan utama memang ketika masyarakat ditanyakan arah kiblat, biasanya hanya menjawab “arah barat”, dan tidak lagi memperhatikan apakah Makkah benar-benar terletak di barat. Sampai-sampai lembaga MUI pun mengeluarkan fatwa yang sejalan dengan cara berfikir masyarakat yang terlanjur “menyederhanakan” arah kiblat.
Tak disangka, ternyata arah kiblat ini menimbulkan permasalahan yang lumayan besar dikalangan masyarakat, khususnya yang tidak memiliki pemahaman yang baik tentang ikhtilaf (perbedaan), sampai-sampai shaf masjid seringkali dilanggar karena ketidakpahaman mereka tentang arah kiblat.
Maka fatwa MUI ini bukanlah fatwa yang merubah arah kiblat, tapi lebih kepada “menyesuaikan” arah kiblat.
Pertanyaannya bagaimana jika selama ini shalat kita menghadap ke barat atau tidak 100% benar menghadap kiblat?,
Yang menarik sebenarnya ucapan KH. Ma’ruf Amin yang mengatakan bahwa arah kiblat ke barat menimbulkan multitafsir bahwa ummat Islam Indonesia berkiblat ke barat (budaya barat), agar lebih tenang maka diganti “barat laut”. Tapi selama ideologi Indonesia masih berkiblat ke barat, seharusnya sekalian ‘diralat” sama MUI agar ideologi Indonesia kembali berkiblat ke “Ka’bah”.