Bak gayung bersambut, dua organisasi massa (Ormas) berbasis komunitas
muslim terbesar di Indonesia pada Bulan Agustus 2015 ini menyelenggarakan
Muktamar, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU
menyelenggarakan Muktamar ke-33 pada 1 – 5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa
Timur. Sementara Muhammadiyah menyelenggarakan Muktamar ke-47 pada 3 – 7
Agustus 2015 di Makassar. Agenda utama pertemuan besar lima tahunan itu
adalah untuk memilih nakhoda baru masing-masing organisasi untuk
periode 2015-2019 dan membahas berbagai hal-hal strategis terkait
kebijakan internal organisasi, persoalan keummatan dan kehidupan bangsa
di masa depan.
Muhammadiyah lebih dulu berdiri, yaitu pada 18
November 1912 M (8 Dzulhijjah 1330 H) di Kauman, Yogyakarta. Sementara
NU didirikan 14 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 31 Januari 1926
(16 Rajab 1344 H) di Surabaya. Pendiri Muhammadiyah adalah Kyai Haji Ahmad Dahlan atau
yang dikenal dengan nama asli Muhammad Darwis dari kota santri Kauman
Yogyakarta. Sementara NU didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari dari Jombang
Jawa Timur. Dalam sejarahnya, kedua-duanya sering disebut-sebut pernah
belajar pada guru yang sama dan bertemu pada satu silsilah keluarga yang
sama (tulisan ini tidak membahas masalah ini).
Basis
Muhammadiyah berada di komunitas santri Kauman Yogyakarta yang
masyarakat di wilayah sekitarnya masih kental dengan budaya Jawa
Keraton. Sementara Basis komunitas NU berada di Jawa Timur yang kental
dengan budaya pesantren atau seperti yang dibilang oleh Cliffort Geertz
sebagai masyarakat dengan identitas “santri-priyayi-abangan”. Ada stereotype
bahwa komunitas NU dipersepsikan sebagai komunitas “santri bersarung”
yang banyak diikuti oleh masyarakat pedesaan tradisionalis, sementara
Muhammadiyah berbasis komunitas modernis yang banyak diikuti oleh
masyarakat perkotaan. Sunguh pun demikian, identitas
“tradisionalis-modernis” belakangan ini barangkali sudah tidak relevan
lagi untuk dihadap-hadapkan (apalagi dibenturkan). Terlepas dari benar
tidaknya identifikasi itu, saya menyebut kedua organisasi massa terbesar
itu sebagai ormas Islam dengan “dua identitas, satu tujuan”.
Sesuai
dengan basisnya dan latar belakang berdirinya masing-masing ormas
tersebut, Muhammadiyah menegaskan diri sebagai organisasi pembaharu
(gerakan tajdid) dan menebarkan semangat berkompetisi secara sehat dengan slogan “fastabiqul khairat”
(berlomba-lomba dalam kebaikan), sementara NU menegaskan diri dengan
slogan: memelihara budaya lama yang baik dan menciptakan hal baru yang
lebih baik (al-muhafadzatu ala qadiimisshaleh wal akhdu biljadidil aslah).
Dua ormas dengan identitas khasnya masing-masing itu, pada dasarnya
satu tujuan, yaitu mendorong terwujudnya kemajuan umat, bangsa dan
negara melalui bidang pendidikan, keagamaan dan sosial-ekonomi. NU
banyak menghasilkan lembaga-lembaga pendidikan pesantren dengan kajian
“kitab kuningnya” yang kaya, sementara Muhammadiyah banyak menghasilan
lembaga-lembaga pendidikan madrasah/sekolah berkualitas serta panti
sosial atau rumah sakit.
Artikel ini tidak bermaksud
membandingkan perbedaan antara kedua ormas tersebut dengan tujuan
mencari kelemahannya, sebaliknya bertujuan untuk mencari titik temu
bagaimana kedua ormas dengan basis massa terbesar di Indonesia itu
semakin dapat bersinergi dengan gaya khasnya masing-masing dalam
mengantarkan kemajuan umat dan bangsa di tengah kehidupan masyarakat
yang beragam dan cenderung semakin mengglobal.
Dua Tema, Satu Motivasi: Kemajuan Umat Islam dan Bangsa
NU
dalam Muktamarnya mengangkat tema: “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia”. Berdasarkan penjelasan resmi panitia
Muktamar NU (dapat diunduh di sini),
sebatas yang dapat saya pahami, Islam Nusantara bukanlah madzhab atau
aliran yang berusaha mereduksi Islam itu sendiri. Tema ini justru
berusaha menghadirkan esensi ajaran Islam yang dapat “membawa rahmat
untuk semua” (rahmatan lil ‘alamiin) dengan tetap memperhatikan
“kearifan lokal” (lokal jenius) yang tidak bertentangan dengan esensi
ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana tertulis dalam petikan dokumen
tersebut mengenai tema muktamar, panitia muktamar menjelaskan bahwa:
“Karakter
Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang
tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam
dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia.
Kehadiran Islam tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada.
Sebaliknya, Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan
budaya yang ada secara tadriji (bertahap). Bisa jadi butuh
waktu puluhan tahun atau beberapa generasi. Pertemuan Islam dengan adat
dan tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga
pendidikan (seperti pesantren) serta sistem Kesultanan. Tradisi itulah
yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara, yakni Islam yang telah
melebur dengan tradisi dan budaya Nusantara”.
“…Islam Nusantara
dimaksudkan sebuah pemahaman keislaman yang bergumul, berdialog dan
menyatu dengan kebudayaan Nusantara, dengan melalui proses seleksi,
akulturasi dan adaptasi. Islam nusantara tidak hanya terbatas pada
sejarah atau lokalitas Islam di tanah Jawa. Lebih dari itu, Islam
Nusantara sebagai manhaj atau model beragama yang harus
senantiasa diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indonesia dan dunia.
Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu
memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam
yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan
agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara,
tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat
akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin”.
Sementara
Muktamar Muhammadiyah 2015 kali ini, mengangkat tema “Gerakan Pencerahan
Menuju Indonesia Berkemajuan”. Menurut Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Yunahar Ilyas (cnnindonesia.com,
3/8/2015), Melalui Muktamar ini, Muhammdiyah berharap dapat mewujudkan
tiga gerakan pencerahan, yakni gerakan pembebasan, pemberdayaan dan
pemajuan. "Kami ingin membebaskan umat dari segala macam hal yang
menghambat kemajuan seperti kemisikinan dan korupsi. Pemberdayaan kami
lakukan melalui pendidikan dan memajukan ilmu pengetahuan," demikian
kata Yunahar dalam media tersebut. PP Muhammadiyah ingin Indonesia tidak
sekedar negara yang aman, makmur dan adil tapi juga berdaya saing
dengan negara-negara lain, terutama di anggota-anggota ASEAN, demikian
ia melanjutkan sebagaimana dikutip dalam media itu.
Hal itu
sejalan dengan motivasi yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah
yang disemaikan oleh Pendirinya, Kyai Dahlan. Sepulang Beliau dari Arab
Saudi dan interaksinya selama bermukim di sana serta bacaan-bacaan atas
atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam seperti Ibn Taimiyah,
Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Rasyid Ridha, benih-benih ide pembaruan itu tertanam dalam diri Kyai
Dahlan. Hal inilah yang kemudian mendorong Kyai Dahlan justru membawa
ide dan gerakan pembaruan ke tanah air sepulang Beliau dari bermuim di
Arab Saudi, bukan malah menjadi konservatif (muhammadiyah.or.id).
Hemat
saya, perbedaan karakteristik antara Muhammadiyah dan NU mesti disikapi
sebagai “rahmat”, bukan sebaliknya sebagai “petaka sosial”. Perbedaan
persepsi atas “Islam Nusantara”, stereotype konservatif dan
Islam Pembaharu, semestinya dijadikan sebagai kekayaan bangsa dalam
mengejar kemajuan. Perbedaan mengenai masalah furuiyyah seperti jumlah bilangan shalat tarawih, bacaan do’a qunut,
dan penetapan Idul Fitri semestinya sudah bukan persoalan utama lagi.
Tantangan umat saat ini adalah bagaimana meningkatkan kualitas Sumber
Daya Umat (SDU) dan bangsa Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim
dapat hidup layak secara sosial, ekonomi dan pendidikan di tengah
persaingan dunia yang semakin kompetitif dengan tetap bersandar atas
pondasi iman.
Karena itu, saya berharap NU dalam Muktamar kali ini mampu melahirkan ide-ide kreatif yang lebih baik (al-jadidil ashlah)
seperti slogannya, sehingga mampu memecahkan problem-problem mendasar
untuk kemajuan Islam Indonesia dan dunia di masa depan. Ribuan pesantren
baik yang secara langsung berafiliasi dengan NU atau tidak, dapat
dijadikan sebagai basis pemberdayaan umat dalam bidang pendidikan,
sosial dan ekonomi sekaligus sebagai perekat budaya bangsa khas Islam
Nusantara yang disuarakan. Gerakan ekonomi pesantren semestinya menjadi
agenda penting yang patut diberdayakan dan menjadi agenda strategis
dalam Muktamar kali ini. Itulah salah satu tantangan riil yang mesti
dipecahkan oleh NU, baik secara jama’ah (komunitas), maupun secara jami’yyah (organsiasi) di masa depan. Dakwah bil hal
(dakwah dengan tindakan) melalui pemberdayan dalam bidang sosial
ekonomi semacam itu, kiranya lebih efektif jika dibandingkan dengan dakwah bil lisan (dakwah dengan ucapan).
Demikian
halnya dengan Muhammadiyah yang telah lahir seabad yang lalu (1912).
Secara historis, gerakan-gerakan pembaharuannya muncul bersinergi dengan
era Kebangkitan Nasional waktu itu, seperti dengan gerakan era Boedi
Oetomo. Pembaharu dalam konteks “pemurnian” tauhid dengan tema
pembebasan TBC (Tahayyul, Bid’ah, dan Khurofat) sudah
sangat tepat jika dewasa ini difokuskan pada tiga gerakan pembebasan
yang menjadi pesan sentralnya, yaitu: gerakan pembebasan, pemberdayaan
dan pemajuan. Saya berharap, kehadiran Muhammadiyah saat ini mampu
menunjukkan diri sebagai kekuatan pembaharu yang semakin bermanfaat
dalam bidang pendidikan, sosial, dan terutama ekonomi yang
gagasan-gagasan dan tindakan pembaharuannya dapat diterima oleh
komunitas yang lebih luas.
Jika dua organisasi Islam terbesar di
Indonesia itu (NU dan Muhammadiyah) dalam Muktamarnya yang berlangsung
hampir bersamaan pada bulan Agustus 2015 kali ini dapat saling
bersinergi, bukanlah hal yang mustahil suatu saat nanti umat Islam dan
bangsa indonesia akan tercerahkan, seperti matahari yang terang dan bumi
yang makmur dan damai. Dua identitas, satu tujuan yang saling
melengkapi. Selamat bermuktamar untuk NU dan Muhammadiyah. Semoga
keduanya makin bersinergi dalam Berkemajuan!
(Di petik dari tulisan sahabat Kompasiana Bapak M. Yunus).